Tuesday, April 24, 2012

Aku bahagia terlahir sebagai wanita


Oleh: Rindang Resita Rizki

Cantik, lembut, dan terkadang sedikit manja, perpaduan yang sangat pas untuk bisa dikatakan menarik,  begitulah kira-kira wanita. Dengan prediksi paling rendahpun wanita tetap akan terlihat menarik. Tapi tahukah anda bahwa diluar itu wanita ternyata mempunyai “jobdesk” yang sangat berat.
Saya jadi teringat ketika dulu saya duduk dikelas dua Madrasah Tsanawiyah, guru saya pernah berpesan: “jadilah wanita yang solihah ketika kamu dewasa kelak nak.., karena generasi masa depan berada ditangan kita, wanita”, begitu kira-kira perkataan beliau, lembut tapi tegas. Ketika itu pikiran saya belum bisa mencerna secara sempurna apa yang beliau katakan, yang terkesan dibenak saya hanyalah mengapa wanita harus menanggung beban sebesar itu?, “susah juga menjadi wanita”.
Kurang lebih sembilan tahun saya mencoba untuk memahami dan mengerti mengapa guru saya berpesan begitu, dan akhirnya sedikit demi sedikit saya paham. Karena nyatanya fenomena hidup menjadikan saya mengerti mengapa wanita harus bertanggungjawab atas generasi masa depan. Bisa dibayangkan ketika sang bayi baru saja lahir, orang pertama yang ia lihat adalah ibu dan dia akan berguru pada ibu. “Al ummu madrosatun, al ummu madrosatul ula” (ibu adalah guru, dan ibu adalah guru pertama bagi manusia). Tidak ada satupun orang didunia ini yang tidak berguru kepada ibu.
Hal itu diperkuat dengan penjelasan Ustadz Hasanain Juaini, pengasuh pondok pesantren Nurul Haramain di daerah Lombok yang pernah menyampaikan di sebuah Talkshow yang diadakan stasiun televisi swasta, “kalau ada orang bertanya mengapa sekarang bangsa Indonesia seperti ini?, jawabnya adalah karena bangsa ini tidak diajarkan oleh guru-guru yang baik, karena bangsa ini tidak menyiapkan ibu-ibu yang baik untuk menjadi guru yang baik bagi anak-anak. Jadi, tidak berlebihan rasanya jika saya mengatakan bahwa wanita adalah inti dari kehidupan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Dr. Adullah Azzam ketika membahas tentang keruntuhan khilafah. Beliau menyampaikan bahwa musuh Islam telah mengerti bahwa langkah yang paling strategis untuk menghancurkan islam adalah dengan membuat rusaknya para muslimah, sehingga mereka tidak dapat menjadi satu generasi yang baik, terlebih untuk mendidik generasi yang baik pula.
Dari sana saya jadi semakin mengerti tentang “beban” seorang wanita dan apa yang harus saya lakukan sebagai perempuan. Saya juga mulai ikhlas menerima takdir bahwa dilahirkan sebagai wanita memang harus siap untuk menjadi kuat dan tangguh, bahkan perlahan saya merasa beruntung dilahirkan sebagai wanita. Karena apakah anda tahu bahwa tanpa disadari, Allah menciptakan otak wanita dengan dilengkapi berbagai kemampuan unik yang menakjubkan. Hal ini diungkapkan baru-baru ini oleh Ahli psikiatri Dr. Louann Brizendine dengan hasil penelitiannya selama 20 tahun tentang otak wanita, bahwa otak wanita memang di desain sedemikian rupa sehingga mereka MEMPUNYAI ketangkasan verbal yang luar biasa, kemampuan untuk menjalin persahabatan yang mendalam, kemampuan yang nyaris menyerupai cenayang dalam membaca wajah dan nada suara, kemampuan untuk mengenali emosi dan keadaan pikiran, serta kemampuan untuk meredakan konflik. Hal itu sudah tertata kuat dalam otak perempuan. Brizendine juga  menjelaskan bahwa semuanya itu adalah bakat-bakat yang dimiliki perempuan sejak lahir dan tidak dimiliki oleh laki-laki. Dengan semua kelebihan itu wanita akan lebih mudah dalam menjalankan tugasnya didunia terlebih dalam mengasuh dan mendidik anak serta menjadi navigasi bagi sebuah rumah tangga.
Begitulah Allah Subhanahu wata’ala, kembali Dia membuktikan kepada kita bahwa Dia adalah Maha Adil (Al ‘adl), Maha Pandai (Ar rosyiid), dan Maha menyeimbangkan (Al qaadir) seperti yang tercantum dalam Asma’ul Husna.
Jadi, mulai sekarang rasanya saya sudah tidak punya cukup alasan untuk hanya menjadi wanita yang biasa-biasa saja. Karena karunia-Nya sudah jauh lebih besar dibanding dengan “beban” yang dititipkan kepada saya sebagai wanita. Terimakasih Wahai Robb..karena aku bahagia terlahir sebagai wanita.

Referensi:
Al Quran Al Karim
Brizendine, Louann. (2010). Female Brain. Jakarta: Ufuk Press.
Hasil talkshow bersama Ustadz Hasanain Juaini di Kick Andy 4 Maret 2012
Pengalaman pribadi


Hari ini kamu jadi ustadzku.. ^_^



Oleh: Rindang Resita Rizki

“Jadi ustadz..”, begitu jawaban Adib ketika kutanya ingin jadi apa dia kelak. Adib berusia enam tahun dan duduk di kelas satu Sekolah Dasar Islam Terpadu. Dia adalah anak termuda diantara kami, empat bersaudara, ya dia adik terkecilku. Mungkin karena itulah adib yang paling sering menjadi objek keisengan kami, kakaknya.
“Hmm..cukup unik..”, gumamku seketika setelah dia menjawab pertanyaanku. Biasanya setiap aku bertanya tentang cita-cita kepada anak seusia dia mayoritas mereka akan menjawab dengan pilihan profesi yang lumayan nyentrik. Seperti guru, dokter, polisi, pilot, bahkan astronot yang sekilas terkesan sedikit ekstrim bagi orang dewasa.
Adib sangat hobi dengan kereta api. Dia bilang kereta itu hebat dan unik, mempunyai badan yang panjang dan berjalan di jalan khusus, begitu kira-kira adib pernah mengatakan kekagumannya tentang kereta kepadaku. Pernah suatu hari adib mengajakku pergi ke stasiun kereta dekat rumah kami, dan tentunya dengan tujuan khusus, “melihat kereta api lewat”. Iya, memang setahuku dia “maniak” sekali dengan kereta.
“Mbak..pak masinis itu keren banget yah..masak kereta sepanjang gitu yang nyetir dia sendiri..wah..gagah..”, adib melihat kereta lewat tanpa berkedip sambil bicara begitu padaku.
Dan setelahnya percakapan dimulai:
Aku: iya..keren yah.., dek adib pengen jadi masinis nggak?
Adib: enggak...aku mau jadi ustadz..
Aku: tapi kalau kata ibu, ustadz itu enggak boleh cengeng lho.., lha dek adib kok masih suka nangis?..hayoo...
Adib: ya nanti kan kalau jadi ustadz udah nggak cengeng lagi..
Jujur, aku lumayan terkesan dengan keteguhan cita-citanya, dan aku sangat bahagia punya saudara seunik adib. Tapi akhir-akhir ini pikiranku agak kacau. Mungkin sedikit perlu diketahui bahwa aku adalah gadis berusia 23tahun dan lulusan sarjana Psikologi dari sebuah Universitas ternama di kota Solo. Terkadang aku merasa kurang beruntung bila dibandingkan dengan teman-teman seusiaku. Mereka sudah menikah dan mempunyai pekerjaan yang layak, sedang aku belum.
Siang ini aku sedang merapikan baju dikamar. Adib masuk kekamarku dan langsung tiduran disampingku. “Asiik.., ada objek iseng nih, hihi” kataku dalam hati.
Aku: maem apa dek?..
Adib: kacang..
Aku: apa bisa ngunyah orang ompong gitu giginya..hihi, (gigi susu adib yang depan memang sudah lama tanggal dan belum tumbuh-tumbuh lagi)
“Dek..kok gigimu nggak tumbuh-tumbuh sih?..ih..ompong...hihi”. ledekku
Adib: lha yang numbuhin gigi itu siapa..?, Allah kan..yaudah..tanya aja sama Allah masak tanya sama aku, kalau aku bisa numbuhin ya tak tumbuhin..(jawabnya tanpa beban).
Seketika aku tersenyum kemudian diam. Ada sedikit kagum dan rasa bersalah. Ternyata aku lupa tentang apa itu tawakal, bersyukur dan berserah diri. Astaghfirllah..”, keluhku dalam hati. Aku sudah lupa dengan semua itu, karena nyatanya tidak jarang aku mengeluh dengan takdirku. Aku merasa bahwa aku selalu kurang beruntung jika dibanding oranglain. Tetapi hari ini, aku seperti diingatkan kembali, bahwa Allah tidak pernah terlambat ataupun terlalu cepat, Dia selalu memberikan hak-hak makhluknya tepat pada waktunya. Dan satu hal lagi yang sempat aku terlupa bahwa ketetapan-Nya atas kita adalah adil, dan selalu baik.
Terimakasih sayang..kamu sudah mengingatkanku tentang pentingnya tawakal dengan cara yang berbeda, dengan cara unik yang kamu miliki. Meskipun gigimu masih ompong tapi kamu sudah mampu mengingatkanku kembali tentang janji Allah: “wa idz taadzdzana robbukum lain syakartum laaziidannakum walaainkafartum inna ‘adzaabii lasyadiid”
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu memberitahukan, “sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (ni’mat-Ku) niscaya adzab-Ku sangatlah pedih” QS: Ibrahim: 7.
Sekarang aku percaya bahwa kamu memang mempunyai kompetensi tinggi untuk menjadi ustadz kelak, karena hari ini kamu sudah menjadi ustadzku... dan semoga Allah memberkahi cita-citamu.

Referensi:
Alqur’an Alkarim
Pengalaman pribadi