Bicaralah..aku
tidak akan menolak perasaanmu
Oleh: Rindang Resita Rizki
Masih
ingatkah berapa kali kita ditimpa masalah?bagaimana rasanya?siapa sajakah yang
ada disamping kita ketika itu?masih ingatkah bagaimana cara kita untuk bertahan?
Dan menjadi apakah diri kita setelah itu?.
Masalah
memang akan selalu ada kapanpun dan dimanapun seseorang berada, karena itu
sudah menjadi sunatulloh. Dengannya pula kita bisa bertumbuh dan berkembang
menuju pribadi yang lebih baik, setidaknya begitu harapan dan tujuan Allah
memberi masalah. Kalau kata so yie jong (di pilem BBF gini: tahukah kau
bagaimana tembikar ini bisa menjadi jauh lebih kuat daripada yang tampak
darinya?..dia harus melalui proses diaduk, ditempa, ditekan, dibelah, dan
kemudian dipanaskan dalam api yang bersuhu diatas 1200°C, setelah itu masih
harus diuji lagi apakah sudah cukup kuat, dan jika belum maka dia akan
dihancurkan dan harus menjalani proses dari awal lagi) gitu katanya,hehe.
Tetapi
setelah mendidik dengan mendatangkan berbagai masalah Allah juga karuniakan kita
orang lain sebagai salah satu fasilitas dalam rangka bertahan, setidaknya untuk
sekedar menguatkan. Kita tahu bahwa selain sebagai makhluk individual yang
membutuhkan privacy manusia juga
ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang berarti tidak bisa hidup tanpa orang
lain.
Dulu
sewaktu masih kuliah saya pernah membaca jurnal bahwa bertemu banyak orang
dalam suasana informal dapat membantu otak agar bisa tetap sehat (Havard Medical School). Selain itu kata
dosen psikologi sosial saya waktu itu beliau bilang, manusia membutuhkan
sedikitnya sepuluh kali bersentuhan dengan oranglain setiap hari untuk bisa
menjaga psikis agar tetap stabil. Masih banyak lagi sebenarnya teori atau hasil
penelitian yang menunjukkan betapa berharganya oranglain untuk kita, dan itu
berarti sebaliknya, kitapun sangat berharga untuk mereka (tetapi itu berlaku
hanya jika kita mempunyai ketulusan untuk mau mempersembahkan diri kita untuk
sesama).
Di
orbit lain Allah mengutus Muhammad SAW untuk menyampaikan kepada kita:
“لِلنَّاسِ أَنْفَعُهُمْ النَّاسِ خَيْرُ”
“Sebaik-baik manusia adalah
yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.”
Shahih Al jami’ no.3289 Hasan. Namun terlepas dari itu sebenarnya sudah menjadi
fitrah manusia mempunyai keinginan untuk menjadi yang terbaik bagi orang lain,
setidaknya untuk beberapa orang yang dianggapnya special. Dan ketika bersikap
sebaik yang kita bisa, memberi sebanyak yang kita punya, setulus hati yang kita
mampu.. maka tersenyumlah, karna saya akan berdoa semoga Allah memasukkan kita
kedalam hambanya yang terpilih untuk menjadi “sebaik-baik manusia”, in syaAllah
J.
Tulisan
ini menjelaskan tentang bagaimana sikap terbaik untuk menghadapi orang yang
sedang dilanda masalah dan mungkin kebetulan dia memilih kita sebagai orang
yang dia percaya, paling tidak dengan ini bisa mengantarkan kita pada predikat
“khoiirunnaas” (sebaik-baik manusia) J
karena sudah berusaha memberikan yang terbaik yang kita bisa buat sesama, in
syaAllah…
Sebenarnya
mekanisme psikis yang sedang terjadi ketika seseorang ditimpa masalah, terlebih
jika sudah pada tahap “terganggu” dan dia merasakan “galau” (bisa sedih, marah,
kecewa, kehilangan, hingga tingkat paling tinggi, yaitu shock), adalah terjadi mental blocking pada sistem saraf pusat.
Mental blocking merupakan program
pikiran pada otak manusia yang bersifat menghambat, selain itu mental blocking juga menyebabkan yang
bersangkutan cenderung statis, sulit untuk berfikir jernih, dan berjalan
ditempat.
Jangan
menolak perasaannya
Ketika
mengalami mental blocking seseorang
tidak lagi bisa menerima nasehat, tetapi yang ia butuhkan adalah empati,
penerimaan, dan penegasan bahwa kita peduli. Maka sebagai orang lain yang
berada disampingnya, sikap terbaik kita ketika itu adalah tunjukkan bahwa seakan
kita juga dapat merasakan apa yang sedang dia rasakan saat itu, bebaskan dia
untuk mengekspresikan rasa, dan terimalah perasaannya. Biarkan seperti itu
hingga mental blocking mencair hingga
perlahan dia bisa kembali berfikir jernih.
Jangan
sekali-sekali mengatakan “jangan sedih.., jangan nangis.., yang sabar.., ataupun
jenis nasehat lain. Kenapa?, karena dengan ucapan itu berarti kita menolak
perasaannya seta terkesan sama sekali tidak berempati. Dan ketika “nasehat” itu
tetap kita katakan maka akan menimbulkan rasa yang tidak nyaman bagi dia, dan yang
lebih dkhawatirkan adalah akan menjadikannya menjadi semakin menutup diri
(nggak bayangin khan gimana jadinya kalo tuh orang masalahnya memang sangat
rumit dan sudah ada indikasi nglakuin bunuh diri? dan ternyata kita salah
bersikap L.
Eh jangan salah orang kalo udah mental
blocking itu suka’ nekat loh, apa aja bisa dia lakuin tanpa dipikir dulu,
pernah gitu nggak?..coba’ inget-inget dulu..hehe). Dan kalaupun ternyata
masalahnya nggak besar-besar amat juga nggak ada salahnya kan kita bersikap sebaik
yang kita bisa, bisa bikin dia senyum aja kita juga udah dapet pahala kok, kalo
ikhlas..in syaAllah J.
Oke, jadi gitu. Lanjut…
Tapi
khusus pada trik ini ada lagi yang perlu diperhatikan, yaitu adanya
perbedaan antara laki-laki dan
perempuan, hal ini terjadi karena adanya perbedaan mekanisme otak pada saat
terjadi masalah antara laki-laki dan perempuan, dan saya rasa ini sangat perlu
untuk dipahami terlebih dulu.
OTAK LAKI-LAKI dan OTAK
PEREMPUAN
Jika
tadi kita sudah berbicara tentang bagaimana cara bersikap untuk menghadapi
saudara kita yang tengah ditimpa masalah, maka sekarang kita akan mengetahui
bagaimana perbedaan mekanisme yang terjadi dalam otak laki-laki dan perempuan.
Ini sangat penting, karena berbeda “klien” akan berbeda pula cara kita harus
bersikap, dan yang paling mencolok yang paling mudah dibedakan adalah atas
dasar jenis kelamin, laki-laki vs perempuan (perhatikan baik-baik, ini sangat
vital dan belum banyak orang yang faham tentang rahasia ini, hehe).
Proses
emosi di dalam otak laki-laki dan perempuan ternyata sangat berbeda. Peneliti
menyatakan bahwa otak kita memiliki dua sistem emosi yang bekerja secara
simultan, yaitu Sistem Syaraf Cermin (Mirror
Neuron system/ MNS) dan Temporal
Parietal Junction System (TPJ). MNS berguna untuk merasakan perasaan emosi
lawan bicara/ orang lain, dan ini yang disebut empati emosional. Jadi bisa dikatakan bahwa MNS bertanggungjawab
atas segala bentuk program empati emosional pada diri seseorang. Sedang TPJ (Temporal Parietal Junction) berfungsi
sebagai pengatur otak untuk membedakan diri sendiri dengan orang lain dan
pemahaman situasi di sekitar kita. Secara sederhana TPJ bisa dikatakan sebagai
pengaktif pusat analisis, perbaikan yang ada di otak dan menciptakan bentuk empati kognitif.
Perbedaan
laki-laki dan perempuan adalah terletak pada durasi penggunaan kedua jenis
sistem emosi tersebut. Jika laki-laki lebih singkat dalam menggunakan MNS-nya
sesaat setelah ditimpa masalah dan akan dengan cepat beralih pada TPJ, maka perempuan
cenderung lebih berlama-lama berada dalam MNS-nya. Otak mampu menggunakan TPJ
sejak masa akhir kanak-kanak, tetapi setelah pubertas hormon reproduktif
laki-laki diperkirakan memperkuat kecenderungan tersebut. Peneliti juga
menemukan bahwa penggunaan TPJ menjaga batasan kokoh antara “diri sendiri”
dengan “orang lain”. Hal ini pulalah yang mencegah proses pemikiran laki-laki
dipengaruhi oleh emosi orang lain dan memperkuat kemampuan mereka untuk secara
kognitif dan secara analitis menemukan solusi.
Baik, biar lebih mudah
difahami kita pakai contoh saja ya..
Kita
pakai saja sepasang suami istri (kan udah lengkap, ada cowok sama cewek, hehe).
Suatu ketika si istri mengeluh kepada suaminya bahwa saat ini dirinya sedang
dilanda masalah yang cukup membuat akalnya bekerja keras. Sebagai staff HRD si
istri bilang bahwa saat ini ada beberapa karyawannya yang sedang terlibat
masalah, padahal karyawan itu termasuk salah satu orang yang dekat dengannya, angka
produksi sempat menurun dan ini sangat disorot oleh pimpinan. “Apa yang harus
aku lakuin coba?..., aku bingung mas..”, begitu keluhnya.
Maka beginilah kira-kira
proses yang terjadi pada otak suami. Sesaat setelah mendengar istrinya mengeluh
MNS-nya akan aktif, ini memungkinkan suami untuk merasakan sesaat perasaan
emosi serupa yang ia lihat diwajah istrinya, ini empati emosional, tetapi
beberapa detik kemudian otak “laki-lakinya” memerintahkan untuk segera beralih
ke TPJ, “ini saatnya mencari solusi!” kira-kira begitu yang ada di pikirannya.
Maka tanpa mempedulikan lagi ekspresi wajah istrinya yang nyaris abstrak, otak
suami langsung dengan cepat mencari solusi, “searching………”, ini berjalan sangat
cepat, wajahnya hampir mendekati predikat “tanpa ekspresi”. Satu-satunya yang
ada dipikirannya saat itu adalah bagaimana secepat mungkin ia dapat menemukan
solusi untuk membantu istrinya (itu bentuk empati dan kepeduliannya). Dan setelah
berhasil menemukan solusi, AHA..maka dengan bahagia ia segera mengutarakan
kepada wanita yang sangat disayanginya itu. “dek..gimana kalo kamu ajak temanmu itu jalan, makan bareng, buat
suasana biar terasa santai, kalo udah gitu kan adek akan bisa mencari tau lebih
jauh lagi mengenai masalahnya, dengan gitu mas harap adek akan bisa lebih mudah
mencari cara yang paling pas untuk menyelesaikan semuanya, gimana?..hm..?”.
Tetapi
proses yang terjadi di otak istrinya adalah tidak sama dengan yang terjadi di otak
suami, saat suami mencoba memberi solusi hasil dari berpikirnya yang strategis
maka saat itu si istri masih berkubang pada MNS, karenanya ia sedang tidak
membutuhkan nasehat itu (empati kognitif), yang lebih berharga baginya sekarang
adalah empati emosional. Ia hanya ingin didengarkan dan berharap suaminya akan
memberi satu pelukan, sentuhan di bahu, belaian di kepala, atau sesuatu yang
lain. Dan biasanya wanita sangat sebal dengan wajah laki-laki yang nyaris tanpa
ekspresi ketika diajak bicara, baginya wajah itu adalah simbol ketidak
pedulian.
Padahal
yang terjadi sebenarnya adalah bukan seperti itu. Semua hanya dikarenakan
proses sistem emosi yang sedikit berbeda diantara keduanya. Dan ketika suami
melihat istrinya mulai menangis dia sangat bingung. Ia merasa sangat tersiksa
melihat wajah istrinya basah ketika mulai menangis sedang ia seakan tidak
diijinkan untuk membantunya, ini sangat membingungkan. Dan ketahuilah ketika
perempuan menangis hal itu benar-benar menimbulkan rasa sakit pada otak
laki-laki.
Saya jadi ingat,
“Berwasiatlah kebaikan
kepada wanita, Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk dan tulang
rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika engkau terlalu keras
meluruskannya tulang tersebut akan patah. Dan jika engkau biarkan, maka ia akan
terus menerus dalam keadaan bengkok, maka berwasiatlah kebaikan kepada wanita”
(hadist shahih diriwayatkan oleh bukhari dan muslim)
Uhmm…menurut saya itu
sangat romantis…:-* (oopss maaf, sepertinya saya sudah mulai terpengaruh dengan
otak perempuan saya, haiyaahh, hihi :-p )
Maha
Cerdas Dia yang menciptakan manusia, bisa rumit gitu sih?.., dan sekarang saya
menjadi semakin yakin bahwa Dia adalah Maha Penyayang. Bayangkan itu hadist
sudah diajarkan sejak dulu jaman jembatan Suramadu belum ada, bahkan sejak
belum ada manusia yang mampu mempelajari tentang isi rumit otak kita. nggak
bayangin kalau kita hidup jaman dulu trus Allah nggak ngajarin kita “cara
bersikap antara laki-laki dengan perempuan”, mesti lebih sering “perang”nya ya
daripada “damai”nya, orang sudah jelas-jelas beda gitu otaknya, hehe. Sekali
ini saya ingin bilang lagi “Subhanallah”.. J
Oke,
kembali pada pembicaraan semula. Terkait dengan penjelasan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa lama durasi “mental
blocking” pada laki-laki dan perempuan mungkin bisa jadi juga sangat
berbeda. Dan jenis empati apa yang akan kita berikan bisa disesuaikan dengan
kondisi saudara kita yang sedang tertimpa masalah saat itu. Ingat.., jangan
larang dia untuk mengungkapkan perasaannya dengan mengatakan “jangan sedih, jangan
nangis, jangan marah, yang sabar, dsb” ketika dia masih berada pada “mental blocking”. Tetapi pahamilah,
terimalah perasaannya, biarkan emosinya mengalir dan berikan apa yang dia
butuhkan J.
Tahap
kedua adalah, amati apakah “mental
blocking” sudah mulai mencair atau belum. Itu biasanya ditandai dengan
sikap dia yang perlahan mulai aktif untuk meminta saran atau pendapat. Keadaan
sudah lebih tenang sekarang. Maka ketika
keadaan sudah seperti itu barulah kita berikan nilai-nilai positif, pemahaman
baru yang menyembuhkan sesuai dengan kebutuhan (bisa dalam bentuk solusi,
saran, atau nasehat), silahkan…., dan saya berharap semoga dia akan segera
merasa jauh lebih baik setelah bertemu dengan anda J.
*** ***
***
Pertama
kali saya mulai mengetahui tentang semua hal diatas, sesaat terbersit dalam
hati saya..”bagaimana saya bisa merasakan kenyamanan serupa untuk dimengerti
orang lain, sedang saya tidak mungkin memaksakan orang lain untuk dapat
sebaliknya mengerti saya”, tetapi setelah saya selidiki lebih lanjut ternyata
perasaan itu adalah fitroh. Sebagai manusia normal tentu ingin mendapat balasan
dari orang lain atas kebaikan yang pernah kita berikan kepada mereka. Tetapi
apakah hal itu menjadi penting lagi jika Allah sudah berfirman?..
“Sembahlah Allah dan
Janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah
kepada ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga
dekat dan tetangga yang jauh, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri” (An nisaa’:36).
Dan ketika Allah sudah
berjanji..
“Sesungguhnya Allah tidak
menganiaya seseorang walaupun sebesar biji sawi (sangat kecil), dan jika ada
kebajikan sebesar biji sawi, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan
memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” (An nisaa’:40).
Masih ada lagi pakar
masalah hati Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang bernasehat:
“kemuliaan menjadi
namanya, kebaikan menjadi perlambangnya, kebajikan menjadi cita rasanya. Pihak
yang paling mendapat manfaat dari perbuatan membahagiakan oranglain adalah
pelakunya sendiri. Mereka segera dapat memetik buahnya dalam jiwa, akhlak, dan
pribadi mereka. Yaitu berupa kelapangan, ketenangan, dan ketentraman”.
Maka
mulai saat itu saya dengan sangat percaya diri berkata sekali lagi,
bicaralah..karna aku tidak akan menolak perasaanmu, dan aku berharap keadaanmu bisa
menjadi lebih baik setelah bertemu dan bicara denganku J.
Referensi:
Al
Quranul karim
Al-jauziyah,
Ibnul Qayyim. (2010). Ya Allah Kenapa Aku
Diuji. Jakarta: ZAMAN.
Brizendine,
Louann. (2010). Male Brain. Jakarta:
Ufuk Press.
Hasil
talkshow bersama Psikolog Elly Risman di TV One
Pengalaman
pribadi