Thursday, March 15, 2012

Bicaralah..aku tidak akan menolak perasaanmu


Bicaralah..aku tidak akan menolak perasaanmu
Oleh: Rindang Resita Rizki

Masih ingatkah berapa kali kita ditimpa masalah?bagaimana rasanya?siapa sajakah yang ada disamping kita ketika itu?masih ingatkah bagaimana cara kita untuk bertahan? Dan menjadi apakah diri kita setelah itu?.
Masalah memang akan selalu ada kapanpun dan dimanapun seseorang berada, karena itu sudah menjadi sunatulloh. Dengannya pula kita bisa bertumbuh dan berkembang menuju pribadi yang lebih baik, setidaknya begitu harapan dan tujuan Allah memberi masalah. Kalau kata so yie jong (di pilem BBF gini: tahukah kau bagaimana tembikar ini bisa menjadi jauh lebih kuat daripada yang tampak darinya?..dia harus melalui proses diaduk, ditempa, ditekan, dibelah, dan kemudian dipanaskan dalam api yang bersuhu diatas 1200°C, setelah itu masih harus diuji lagi apakah sudah cukup kuat, dan jika belum maka dia akan dihancurkan dan harus menjalani proses dari awal lagi) gitu katanya,hehe.
Tetapi setelah mendidik dengan mendatangkan berbagai masalah Allah juga karuniakan kita orang lain sebagai salah satu fasilitas dalam rangka bertahan, setidaknya untuk sekedar menguatkan. Kita tahu bahwa selain sebagai makhluk individual yang membutuhkan privacy manusia juga ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang berarti tidak bisa hidup tanpa orang lain.
Dulu sewaktu masih kuliah saya pernah membaca jurnal bahwa bertemu banyak orang dalam suasana informal dapat membantu otak agar bisa tetap sehat (Havard Medical School). Selain itu kata dosen psikologi sosial saya waktu itu beliau bilang, manusia membutuhkan sedikitnya sepuluh kali bersentuhan dengan oranglain setiap hari untuk bisa menjaga psikis agar tetap stabil. Masih banyak lagi sebenarnya teori atau hasil penelitian yang menunjukkan betapa berharganya oranglain untuk kita, dan itu berarti sebaliknya, kitapun sangat berharga untuk mereka (tetapi itu berlaku hanya jika kita mempunyai ketulusan untuk mau mempersembahkan diri kita untuk sesama).
Di orbit lain Allah mengutus Muhammad SAW untuk menyampaikan kepada kita:
 لِلنَّاسِ  أَنْفَعُهُمْ النَّاسِ خَيْرُ
 Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain.” Shahih Al jami’ no.3289 Hasan. Namun terlepas dari itu sebenarnya sudah menjadi fitrah manusia mempunyai keinginan untuk menjadi yang terbaik bagi orang lain, setidaknya untuk beberapa orang yang dianggapnya special. Dan ketika bersikap sebaik yang kita bisa, memberi sebanyak yang kita punya, setulus hati yang kita mampu.. maka tersenyumlah, karna saya akan berdoa semoga Allah memasukkan kita kedalam hambanya yang terpilih untuk menjadi “sebaik-baik manusia”, in syaAllah J.
Tulisan ini menjelaskan tentang bagaimana sikap terbaik untuk menghadapi orang yang sedang dilanda masalah dan mungkin kebetulan dia memilih kita sebagai orang yang dia percaya, paling tidak dengan ini bisa mengantarkan kita pada predikat “khoiirunnaas” (sebaik-baik manusia) J karena sudah berusaha memberikan yang terbaik yang kita bisa buat sesama, in syaAllah…
Sebenarnya mekanisme psikis yang sedang terjadi ketika seseorang ditimpa masalah, terlebih jika sudah pada tahap “terganggu” dan dia merasakan “galau” (bisa sedih, marah, kecewa, kehilangan, hingga tingkat paling tinggi, yaitu shock), adalah terjadi mental blocking pada sistem saraf pusat. Mental blocking merupakan program pikiran pada otak manusia yang bersifat menghambat, selain itu mental blocking juga menyebabkan yang bersangkutan cenderung statis, sulit untuk berfikir jernih, dan berjalan ditempat.
Jangan menolak perasaannya
Ketika mengalami mental blocking seseorang tidak lagi bisa menerima nasehat, tetapi yang ia butuhkan adalah empati, penerimaan, dan penegasan bahwa kita peduli. Maka sebagai orang lain yang berada disampingnya, sikap terbaik kita ketika itu adalah tunjukkan bahwa seakan kita juga dapat merasakan apa yang sedang dia rasakan saat itu, bebaskan dia untuk mengekspresikan rasa, dan terimalah perasaannya. Biarkan seperti itu hingga mental blocking mencair hingga perlahan dia bisa kembali berfikir jernih.
Jangan sekali-sekali mengatakan “jangan sedih.., jangan nangis.., yang sabar.., ataupun jenis nasehat lain. Kenapa?, karena dengan ucapan itu berarti kita menolak perasaannya seta terkesan sama sekali tidak berempati. Dan ketika “nasehat” itu tetap kita katakan maka akan menimbulkan rasa yang tidak nyaman bagi dia, dan yang lebih dkhawatirkan adalah akan menjadikannya menjadi semakin menutup diri (nggak bayangin khan gimana jadinya kalo tuh orang masalahnya memang sangat rumit dan sudah ada indikasi nglakuin bunuh diri? dan ternyata kita salah bersikap L. Eh jangan salah orang kalo udah mental blocking itu suka’ nekat loh, apa aja bisa dia lakuin tanpa dipikir dulu, pernah gitu nggak?..coba’ inget-inget dulu..hehe). Dan kalaupun ternyata masalahnya nggak besar-besar amat juga nggak ada salahnya kan kita bersikap sebaik yang kita bisa, bisa bikin dia senyum aja kita juga udah dapet pahala kok, kalo ikhlas..in syaAllah J.
Oke, jadi gitu. Lanjut…
Tapi khusus pada trik ini ada lagi yang perlu diperhatikan, yaitu adanya perbedaan  antara laki-laki dan perempuan, hal ini terjadi karena adanya perbedaan mekanisme otak pada saat terjadi masalah antara laki-laki dan perempuan, dan saya rasa ini sangat perlu untuk dipahami terlebih dulu.
OTAK LAKI-LAKI dan OTAK PEREMPUAN
Jika tadi kita sudah berbicara tentang bagaimana cara bersikap untuk menghadapi saudara kita yang tengah ditimpa masalah, maka sekarang kita akan mengetahui bagaimana perbedaan mekanisme yang terjadi dalam otak laki-laki dan perempuan. Ini sangat penting, karena berbeda “klien” akan berbeda pula cara kita harus bersikap, dan yang paling mencolok yang paling mudah dibedakan adalah atas dasar jenis kelamin, laki-laki vs perempuan (perhatikan baik-baik, ini sangat vital dan belum banyak orang yang faham tentang rahasia ini, hehe).
Proses emosi di dalam otak laki-laki dan perempuan ternyata sangat berbeda. Peneliti menyatakan bahwa otak kita memiliki dua sistem emosi yang bekerja secara simultan, yaitu Sistem Syaraf Cermin (Mirror Neuron system/ MNS) dan Temporal Parietal Junction System (TPJ). MNS berguna untuk merasakan perasaan emosi lawan bicara/ orang lain, dan ini yang disebut empati emosional. Jadi bisa dikatakan bahwa MNS bertanggungjawab atas segala bentuk program empati emosional pada diri seseorang. Sedang TPJ (Temporal Parietal Junction) berfungsi sebagai pengatur otak untuk membedakan diri sendiri dengan orang lain dan pemahaman situasi di sekitar kita. Secara sederhana TPJ bisa dikatakan sebagai pengaktif pusat analisis, perbaikan yang ada di otak dan menciptakan bentuk empati kognitif.
Perbedaan laki-laki dan perempuan adalah terletak pada durasi penggunaan kedua jenis sistem emosi tersebut. Jika laki-laki lebih singkat dalam menggunakan MNS-nya sesaat setelah ditimpa masalah dan akan dengan cepat beralih pada TPJ, maka perempuan cenderung lebih berlama-lama berada dalam MNS-nya. Otak mampu menggunakan TPJ sejak masa akhir kanak-kanak, tetapi setelah pubertas hormon reproduktif laki-laki diperkirakan memperkuat kecenderungan tersebut. Peneliti juga menemukan bahwa penggunaan TPJ menjaga batasan kokoh antara “diri sendiri” dengan “orang lain”. Hal ini pulalah yang mencegah proses pemikiran laki-laki dipengaruhi oleh emosi orang lain dan memperkuat kemampuan mereka untuk secara kognitif dan secara analitis menemukan solusi.
Baik, biar lebih mudah difahami kita pakai contoh saja ya..
Kita pakai saja sepasang suami istri (kan udah lengkap, ada cowok sama cewek, hehe). Suatu ketika si istri mengeluh kepada suaminya bahwa saat ini dirinya sedang dilanda masalah yang cukup membuat akalnya bekerja keras. Sebagai staff HRD si istri bilang bahwa saat ini ada beberapa karyawannya yang sedang terlibat masalah, padahal karyawan itu termasuk salah satu orang yang dekat dengannya, angka produksi sempat menurun dan ini sangat disorot oleh pimpinan. “Apa yang harus aku lakuin coba?..., aku bingung mas..”, begitu keluhnya.
Maka beginilah kira-kira proses yang terjadi pada otak suami. Sesaat setelah mendengar istrinya mengeluh MNS-nya akan aktif, ini memungkinkan suami untuk merasakan sesaat perasaan emosi serupa yang ia lihat diwajah istrinya, ini empati emosional, tetapi beberapa detik kemudian otak “laki-lakinya” memerintahkan untuk segera beralih ke TPJ, “ini saatnya mencari solusi!” kira-kira begitu yang ada di pikirannya. Maka tanpa mempedulikan lagi ekspresi wajah istrinya yang nyaris abstrak, otak suami langsung dengan cepat mencari solusi, “searching………”, ini berjalan sangat cepat, wajahnya hampir mendekati predikat “tanpa ekspresi”. Satu-satunya yang ada dipikirannya saat itu adalah bagaimana secepat mungkin ia dapat menemukan solusi untuk membantu istrinya (itu bentuk empati dan kepeduliannya). Dan setelah berhasil menemukan solusi, AHA..maka dengan bahagia ia segera mengutarakan kepada wanita yang sangat disayanginya itu. “dek..gimana kalo kamu ajak temanmu itu jalan, makan bareng, buat suasana biar terasa santai, kalo udah gitu kan adek akan bisa mencari tau lebih jauh lagi mengenai masalahnya, dengan gitu mas harap adek akan bisa lebih mudah mencari cara yang paling pas untuk menyelesaikan semuanya, gimana?..hm..?”.
Tetapi proses yang terjadi di otak istrinya adalah tidak sama dengan yang terjadi di otak suami, saat suami mencoba memberi solusi hasil dari berpikirnya yang strategis maka saat itu si istri masih berkubang pada MNS, karenanya ia sedang tidak membutuhkan nasehat itu (empati kognitif), yang lebih berharga baginya sekarang adalah empati emosional. Ia hanya ingin didengarkan dan berharap suaminya akan memberi satu pelukan, sentuhan di bahu, belaian di kepala, atau sesuatu yang lain. Dan biasanya wanita sangat sebal dengan wajah laki-laki yang nyaris tanpa ekspresi ketika diajak bicara, baginya wajah itu adalah simbol ketidak pedulian.
Padahal yang terjadi sebenarnya adalah bukan seperti itu. Semua hanya dikarenakan proses sistem emosi yang sedikit berbeda diantara keduanya. Dan ketika suami melihat istrinya mulai menangis dia sangat bingung. Ia merasa sangat tersiksa melihat wajah istrinya basah ketika mulai menangis sedang ia seakan tidak diijinkan untuk membantunya, ini sangat membingungkan. Dan ketahuilah ketika perempuan menangis hal itu benar-benar menimbulkan rasa sakit pada otak laki-laki.
Saya jadi ingat,
“Berwasiatlah kebaikan kepada wanita, Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas. Jika engkau terlalu keras meluruskannya tulang tersebut akan patah. Dan jika engkau biarkan, maka ia akan terus menerus dalam keadaan bengkok, maka berwasiatlah kebaikan kepada wanita” (hadist shahih diriwayatkan oleh bukhari dan muslim)
Uhmm…menurut saya itu sangat romantis…:-* (oopss maaf, sepertinya saya sudah mulai terpengaruh dengan otak perempuan saya, haiyaahh, hihi :-p )
Maha Cerdas Dia yang menciptakan manusia, bisa rumit gitu sih?.., dan sekarang saya menjadi semakin yakin bahwa Dia adalah Maha Penyayang. Bayangkan itu hadist sudah diajarkan sejak dulu jaman jembatan Suramadu belum ada, bahkan sejak belum ada manusia yang mampu mempelajari tentang isi rumit otak kita. nggak bayangin kalau kita hidup jaman dulu trus Allah nggak ngajarin kita “cara bersikap antara laki-laki dengan perempuan”, mesti lebih sering “perang”nya ya daripada “damai”nya, orang sudah jelas-jelas beda gitu otaknya, hehe. Sekali ini saya ingin bilang lagi “Subhanallah”.. J
Oke, kembali pada pembicaraan semula. Terkait dengan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa lama durasi “mental blocking” pada laki-laki dan perempuan mungkin bisa jadi juga sangat berbeda. Dan jenis empati apa yang akan kita berikan bisa disesuaikan dengan kondisi saudara kita yang sedang tertimpa masalah saat itu. Ingat.., jangan larang dia untuk mengungkapkan perasaannya dengan mengatakan “jangan sedih, jangan nangis, jangan marah, yang sabar, dsb” ketika dia masih berada pada “mental blocking”. Tetapi pahamilah, terimalah perasaannya, biarkan emosinya mengalir dan berikan apa yang dia butuhkan J.
Tahap kedua adalah, amati apakah “mental blocking” sudah mulai mencair atau belum. Itu biasanya ditandai dengan sikap dia yang perlahan mulai aktif untuk meminta saran atau pendapat. Keadaan sudah lebih tenang sekarang.  Maka ketika keadaan sudah seperti itu barulah kita berikan nilai-nilai positif, pemahaman baru yang menyembuhkan sesuai dengan kebutuhan (bisa dalam bentuk solusi, saran, atau nasehat), silahkan…., dan saya berharap semoga dia akan segera merasa jauh lebih baik setelah bertemu dengan anda J.
                                                            ***   ***   ***
Pertama kali saya mulai mengetahui tentang semua hal diatas, sesaat terbersit dalam hati saya..”bagaimana saya bisa merasakan kenyamanan serupa untuk dimengerti orang lain, sedang saya tidak mungkin memaksakan orang lain untuk dapat sebaliknya mengerti saya”, tetapi setelah saya selidiki lebih lanjut ternyata perasaan itu adalah fitroh. Sebagai manusia normal tentu ingin mendapat balasan dari orang lain atas kebaikan yang pernah kita berikan kepada mereka. Tetapi apakah hal itu menjadi penting lagi jika Allah sudah berfirman?..
“Sembahlah Allah dan Janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga yang jauh, dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri” (An nisaa’:36).
Dan ketika Allah sudah berjanji..
“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar biji sawi (sangat kecil), dan jika ada kebajikan sebesar biji sawi, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” (An nisaa’:40).
Masih ada lagi pakar masalah hati Ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang bernasehat:
“kemuliaan menjadi namanya, kebaikan menjadi perlambangnya, kebajikan menjadi cita rasanya. Pihak yang paling mendapat manfaat dari perbuatan membahagiakan oranglain adalah pelakunya sendiri. Mereka segera dapat memetik buahnya dalam jiwa, akhlak, dan pribadi mereka. Yaitu berupa kelapangan, ketenangan, dan ketentraman”.
Maka mulai saat itu saya dengan sangat percaya diri berkata sekali lagi, bicaralah..karna aku tidak akan menolak perasaanmu, dan aku berharap keadaanmu bisa menjadi lebih baik setelah bertemu dan bicara denganku J.

Referensi:
Al Quranul karim
Al-jauziyah, Ibnul Qayyim. (2010). Ya Allah Kenapa Aku Diuji. Jakarta: ZAMAN.
Brizendine, Louann. (2010). Male Brain. Jakarta: Ufuk Press.
Hasil talkshow bersama Psikolog Elly Risman di TV One
Pengalaman pribadi